Cerita ”Teler”-nya Abu Nawas

Konon Terjadi Saat Lailatul Qadar
HAMPIR semua orang mengenal nama Abu Nawas. Namun di negeri kita, sosok tersebut telanjur dianggap sebagai pelawak. Mungkin hal itu akibat pengaruh buku “Hikayat Abu Nawas” saduran Nur Sutan Iskandar, terbitan Balai Pustaka, yang menjadi bacaan wajib murid-murid sekolah sejak tahun 1930-an hingga 1950-an.
Padahal Abu Nawas (nama sebenarnya Abu Hani Muhammad bin Hakami, lahir di Ahwaz, Persia, tahun 735 dan meninggal di Bagdhad, tahun 810) adalah seorang sastrawan besar dalam khazanah sastra Arab abad Pertengahan. Bahkan sastrawan terbesar pada zaman kekuasaan Sultan Harun al Rasyid al Abassi, yang menjadi khalifah Dinasti Abasiyah tahun 786-809.Memang, karena kepiawaiannya di bidang bahasa dan sastra Arab, Abu Nawas banyak menggubah sajak-sajak bercorak lelucon dan senda-gurau (mujuniyat). Ia juga sangat ahli merangkai syair tentang cinta dan kecantikan wanita (gazal), pujian terhadap seseorang (madah), bahkan sindiran halus namun tajam (hija). Dan dalam keadaan mabuk minum alkohol khamr), sambil meracau tak karuan, ia menggubah puisi-puisi yang membangga-banggakan minuman keras, yang disebut puisi khumrayat. Karena kelakuannya yang urakan, tak bermoral, bahkan kemungkina atheis, Abu Nawas tidak disukai kalangan agamawan dan kalangan yang menjunjung tinggi ahlak kesopanan. Bahkan, ia pernah dipenjarakan karena kelakuannya yang tak beres itu.
Namun menjelang usia tua, ia berubah total. Menjadi tekun beribadah, rendah hati (tawadlu) dan jarang berbicara. Dari beberapa anekdot yang dihimpun para pengamat puisi Abu Nawas, terungkap, kesadaran (al yakhzah) diri Abu Nawas tergugah pada suatu malam “Qadar” (Lai­latulkadar). Ko­non, ketika dalam keadaan “teler” Abu Nawas didatangi seseorang tak dikenal, yang berkata :Ya, Abu Hani, idza lam takun milhan tuslih, fa la takun zubabatan tufsid (Wahai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikkan, yang merusak hidangan itu).
Abu Nuwas langsung merasa dirinya sebagai lalat. Bahkan lebih hina dina. Ia sadar, tahun-tahun kehidupannya tidak membawa manfaat sebagaimana garam memberi kesedapan. Justru ia terus-terusan merusak, merusak dan merusak. Padahal merusak dilarang keras oleh Allah SWT. La tufsidu fil ardli. Innallaha la yuhibbul mufsidin (Alquran Surah Al Qashash ayat 77).Sejak peristiwa “Malam Qadar” itu, Abu Nawas, mengganti syair-syair dengan zikir. Memindahkan malam-malamnya dari kafe, bar atau pub, ke masjid. Ia tidak ingin lagi menjadi lalat. Biar tak jadi apa-apa, asal tidak membawa kerusakan bagi dirinya dan orang lain.
Beberapa kawannya satu “geng” mendatangi Abu Nawas yang sedang i’tikaf di sebuah masjid, pada sepuluh malam terakhir Ramadan. “Apa yang keluar dari bibirmu sekarang ?” ejek kawan-kawannya.
“Ayat-ayat Alquran,” jawab Abu Nawas, kalem.“Yang kau pikirkan di kepalamu ?”
“Kemahaagungan Allah, yang sudah mengubah manusia buruk seperti kalian, menjadi manusia yang baik seperti aku sekarang.”
“Kau habiskan malam-malammu dengan apa ?”
“Dengan mendekatkan diriku yang hina dina kepada Zat Maha Mulia, yaitu Allah SWT.”
“Lalu siang-siangmu keluyuran ke mana ?”
“Ke gurun dan samudera petunjuk-Nya yang penuh rahmat dan ampunan. Aku tak akan tersesat di situ, karena firman-firman-Nya amat jelas,” kata Abu Nawas seraya mengutip sabda Nabi Muhammad saw. afdlala ibadati ummatiy tilawatul Qurani. Sebaik-baik ibadah umatku adalah membaca Alquran.
Salah satu puisi karya terakhir Abu Nawas, sebuah puisi religius yang di negeri kita (antara lain di Pondok Modern Gontor) dijadikan “pupujian” seusai salat.Ilahi, lastulil firdausi ‘alaWa la aqwa alan naril jahimiFahabli taubatan waghfir dzunubiFainnaka ghafiru dzanbil adzimi (Ya Allah, tak pantas buatku surgaTapi neraka, tak kuat aku akan siksanyaMaka atas segala dosa aku bertaubatKarena ampunanmu lebih hebat) Puisi-puisi Abu Nawas bersama kisah hidupnya, ditulis antara lain oleh Mustafa Abdur Razak, dalam buku “Abu Nawas, Hayatuhu wa Sya’iruhu” (1981). Dikenal dan digemari di dunia Barat setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh A.von Kremer “Diwan des Abu Nuwas Grossten Lyrischen Dichters der Araber” (1806).Abu Nawas mung­kin salah satu contoh manusia yang mendapat barakah “Lailatul Qadar”. Malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Kita yang sedang saum sambil mengharap ampunan, rahmat dan itqun minannari (pembebasan dari api neraka), tak mustahil mendapat keberuntungan seperti Abu Nawas. (dikutip dari H.Usep Romli HM yang ditulis di harian Pikiran Rakyat edisi Senin, 24 Oktober 2005)­***

Posted on Januari 19, 2008, in Kisah Teladan. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. Apa bisa sharing (kalau ada) buku “Hikayat Abu Nawas” saduran Nur Sutan Iskandar, terbitan Balai Pustaka, yang menjadi bacaan wajib murid-murid sekolah sejak tahun 1930-an hingga 1950-an..?

    Terimakasih sebelumnya…

    Ibnu Muchtar..

  2. atau buku “Abu Nawas, Hayatuhu wa Sya’iruhu” (1981) yang ditulis antara lain oleh Mustafa Abdur Razak..?

    Ibnu Muchtar

Tinggalkan komentar